Memaknai Isra' Mikraj Rasulullah Saw.
Oleh : Syamsul Bahri
****
Hampir setiap tahun ummat Islam di seluruh penjuru dunia memperingati
sebuah peristiwa penting dalam sejarah Islam. Peristiwa itu adalah diperjalankannya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada
suatu malam dari Masjidil Haram yang terletak di Makkah, ke Masjidil Aqsa yang
ada di Palestina. Persitiwa itu kita kenal dengan istilah Isra’. Tak lama Setelah
itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam kembali diperjalankan dari Masjid Al-Aqsa menuju langit yang
tertinggi untuk menerima langsung perintah shalat lima waktu. Kemudian beliau
dikembalikan ke tempat tinggalnya di Makkah pada malam itu juga. Perjalanan
Beliau ini, kita kenal dengan istilah mikraj.
Allah Swt. Mengabadikan peristiwa ini di dalam Kitab Suci-Nya sebagai
fakta sejarah, bahwa Isra’ dan Mikraj merupakan tanda-tanda kekuasaan-Nya sekaligus
Mukjizat yang diberikan kepada hamba yang di cintai-Nya yaitu Rasulullah Sallallahu ‘alihi wasallam.
“ Maha Suci
Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil
Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ﴾ Al
Israa':1 ﴿
Tahun Berduka Cita (‘Amul Huzni)
Sebelum
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di
Isra’ Mikraj-kan, ada peristiwa sejarah yang mendahuluinya. Pada tahun
kesepuluh kenabian, istri Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam, Khadijah binti Khuwailid dan pamannya Abu Thalib, wafat.
Selisih waktu antara kematian Khadijah dan kematian Abu Thalib, sebagaimana
yang dikatakan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya hanya berselang satu bulan
lima hari. Dua tokoh penting yang selama ini menopang dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dari
kerasnya intimidasi dan konspirasi kaum Musyrikin Makkah terhadap Rasulullah
dan para sahabatnya kala itu.
Khadijah Radhiyallahu anha, diceritakan oleh Ibnu Hisyam, adalah menteri
kebenaran Islam. Pada saat-saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menghadapi masalah berat, beliaulah yang selalu menghibur dan membesarkan
hatinya. Begitu juga halnya dengan Abu Thalib, dia telah memberikan dukungan
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam menghadapi kaumnya.
Berkata Ibnu Hisyam,”Setelah Abu
Thalib meninggal, kaum Quraisy bertambah leluasa melancarkan penyiksaan
terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sampai orang awam Quraisy pun
berani melempar kotoran ke atas kepala beliau sehingga Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam pulang ke rumah dengan berlumuran tanah. Melihat ini, salah
seorang putri beliau bangkit membersihkan kotoran dari atas kepalanya sambil
menangis. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya,”Yaa bunayyah, Laa tabki fainnallaha maani’un
abaaki. Wahai Anakku, Janganlah engkau menangis! Sesungguhnya,Allah melindungi
bapakmu.”
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam menamakan tahun ini sebagai “Tahun Duka Cita”
karena begitu berat dan hebatnya penderitaan di jalan dakwah pada tahun ini.
Mencari Dukungan ke Tha’if
Ketika tipu daya dan intimidasi
kaum Quraisy semakin menjadi pasca kewafatan paman dan Istri Nabi, beliau pergi
menuju Thaif, berharap mendapat sambutan positif dan bantuan bagi penyebaran
dakwah beliau. Tetapi mereka menolaknya dengan cara yang keji. Anak-anak mereka
menghasut Nabi dan melemparinya dengan batu hingga kedua kaki beliau berdarah.
Nabi menyelamatkan diri ke sebuah perkebunan Tha’if lalu menghadap Allah dengan
do’a yang khusyu’.
“Ya
Allah, hanya kepada-Mu aku mengadukan lemahnya kekuatanku, minimnya upayaku dan
kehinaanku dalam pandangan manusia. Wahai dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
Engkau Tuhan orang-orang Yang tak berdaya. Engkau Tuhanku, kepada siapakah
diriku akan Engkau serahkan? Apakah kepada orang jauh (tidak dikenal) yang akan
menyergapku? Atau kepada musuh yang urusanku telah Engkau pasrahkan padanya?
Bila Engkau tidak murka padaku, maka aku tidak akan peduli lagi (dengan Celaan
mereka), tetapi kemaafan-Mu jauh lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan
cahaya wajah-Mu, yang menerangi segala kegelapan dan membenahi segala urusan
dunia akhirat, dari murka-Mu yang akan Engkau turunkan atasku atau dari
kebencian-Mu yang akan Engkau timpakan kepadaku. Hanya bagi-Mu kerelaan hingga
Engkau rela. Tiada daya dan upaya selain dari-Mu.”
Tak
lama setelah pengusiran itu, terjadi peristiwa mukjizat Isra’ mikraj. Beliau di
Isra’kan (berjalan pada suatu malam) dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha,
kemudian di Mikrajkan (dinaikkan) ke Langit yang paling tinggi, lalu kembali ke
kediaman Nabi di Makkah pada malam itu juga. Rasulullah mengabarkan peristiwa
mukjizat itu kepada kaum Quraisy, mereka menertawakan dan mengolok-oloknya.
Sedangkan Abu Bakar dan orang-orang yang kuat iman mempercaiyainya. Pada malam
itu diwajibakan shalat lima waktu bagi setiap Muslim yang balig dan berakal.
Beberapa Ibrah
Di balik Mukjizat Isra’ dan
Mikraj Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam ini, terdapat banyak sekali
rahasia. Di antaranya :
Pertama, adalah sunnatullah dan hikmah Ilahiyah yang sangat besar
artinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam harus mengalami dan
menghadapi berbagai cobaan berat di jalan dakwah. Dengan demikian para da’I
pada setiap zaman akan menganggap ringan segala bentuk cobaan berat yang
ditemui di jalan dakwah.
Seandainya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam berhasil dalam dakwahnya tanpa penderitaan atau
perjuanagan berat, niscaya para sahabatnya dan kaum muslimin sesudahnya inigin
berdakwah dengan santai, sebagaimana yang dilakaukan oleh beliau dan merasa
berat menghadapi penderitaan dan ujian yang mereka temui di jalan dakwah.
Akan tetapi, dengan
melihat penderitaan yang di alami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, akan
terasa ringanlah segala beban penderitaan yang harus dihadapi oleh kaum
Muslimin di jalan dakwah. Dengan demikian, mereka sedang merasakan apa yang
pernah dirasakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berjalan di
jalan yang pernah dilalui oleh beliau.
Kedua, istri shalehah dan percaya terhadap misi kebenaran akan
menghilangkan banyak kesulitan yang dihadapi suaminya sang da’I, sebab ia ikut
merasakan kesulitan dan penderitaannya. Karena itu, istri bisa meringankan
beban kesulitan ini serta memotivasi jiwanya untuk selalu konsisten dan tegar
berjuang di jalan dakwah. Seorang istri yang shalihah juga memiliki pengaruh
besar bagi keberhasilan, keteguhan dan konsistensi perjuangan dakwah. Sebagaimana Khadijah
radiyallahu ‘anha telah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perjuangan
dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Ketiga, kesedihan karena ditinggalkan oleh orang-orang yang
dicintai, yang selama ini mendukung, melindungi dan memotivasi perjuangan
dakwah meski tidak mempercayai dakwah merupakan duka yang membutuhkan sikap
ikhlas dalam menjalankan misi dakwah. Sehingga sangat wajar ketika Abu Thalib
wafat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengungkapkan kecintaannya dengan
berkata,”Semoga Allah merahmati dan mengampunimu. Aku akan selalu memohonkan
ampunan untukmu samapai Allah melarangku.”
Kaum Muslimin mengikuti
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka memohonkan ampunan bagi Abu
Thalib yang musyrik. Sampai akhirnya turunlah ayat,”Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan
ampun (kepada Allah) bagi oran-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu
adalah kaum kerabat, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik adalah
penghuni neraka Jahannam.” (Qs. At-Taubah: 113).
Begitu juga ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
kehilangan istri tercintanya, Khadijah radhiyallahu ‘anha. Beliau Shallalhu ‘alaihi walallam di sepanjang
hidupnya selalu menyebut kelebihan Khadijah, memohonkan rahmat Allah baginya,
dan berbuat baik kepada seluruh kerabatnya. Sampai-sampai, Aisyah pernah
cemburu pada Khadijah, padahal beliau telah wafat. Karena Aisyah sering
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam memuji Khadijah.
Ke empat, peristiwa penting ini ternyata beriringan dengan
peristiwa lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu pertemuan teragung dalam
kehidupan umat manusia. Saat itu Masjid al-Aqsha dipenuhi manusia-manusia
termulia, para nabi dan Rasul sejak zaman Nabi Adam a.s, hingga Nabi Isa as.
Mereka menunggu kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam untuk mengimami shalat.
Shalat yang
dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersama para Nabi tersebut
merupakan tanda perpindahan risalah kepada umat ini dan serah terima panji
kepemimpinan umat manusia yang berlangsung di tempat yang diberkahi, Masjid
al-Aqsha.
Risalah itu telah
berpindah dari satu nabi ke nabi lain. Mulai dari Nabi Nuh a.s yang mengemban
risalah bersama kaumnya setelah terjadi badai topan dan tsunami. Risalah ini
kemudian dilanjutkan oleh Nabi Ibrahim yang mengemban kitab langit, lalu
dilanjutkan oleh Musa dan Isa a.s., hingga akhirnya sampai kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam dan umatnya.
Ke lima, kewajiban shalat pada malam isra’ mikraj terdapat hikmah
yang menyebabkan disyariatkannya shalat. Mengingat ujian dan rintangan di jalan
dakwah tidaklah ringan, sehingga seorang da’I sudah tentu selalu mengharapkan kehadiran
dan pertolongan Allah dalam setiap keadaan. Perintah shalat merupakan cara
Allah memikrajkan hamba untuk menghadap-Nya, meminta pertolongan-Nya, dan
menyampaikan harapannya. Itulah sebabnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyatakan bahwa Shalat
merupakan mikrajnya orang-orang beriman.
Ke enam, peristiwa itu menunjukkan bahwa permasalahan Masjidil
Aqsha dan wilayah sekitarnya yaitu Palestina berkaitan erat dengan dunia Islam.
Sebab, kota Makkah pasca kenabian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menjadi pusat koordinasi dunia Islam dan kesatuan berbagai tujuan. Bahwa
mempertahankan Palestina berarti mempertahankan Islam. Jadi, setiap Muslim di
segala penjuru dunia wajib membelanya. Teledor membela dan membebaskan
Palestina sama dengan melalaikan Islam, sekaligus suatu bentuk kriminalitas.
Allah tidak akan menyiksa setiap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ke tujuh, pertanda adanya kemungkinan melakukan ulang alik ke ruang
angkasa dan keluar dari zona gaya gravitasi bumi. Dalam peristiwa isra’ dan
mikraj, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah astronot pertama dalam
seluruh sejarah dunia. Pergi ke luar angkasa dan kembali lagi ke bumi dengan
selamat adalah tidak mustahil jika terjadi pada diri Rasul dengan mukjizat pada
masanya. Itu suatu yang mungkin dilakukan manusia dengan bantuan ilmu dan
rasio. Wallahu a’lam.
Maraji’
1. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI
2. Sirah Nabawiyah, Dr. Musthafa as-Siba’I cet.
I, Era Intermedia.
3. Sirah Nabawiyah, Prof. Dr. Sai’d Ramadhan
al-Buthy. Rabbani Press.
4. Khowatir Qur’aniyyah, Amru Khalid.
Al-I’tisham.
Posted by PKS Kota Mataram
on 07.19. Filed under
.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
Feel free to leave a response