|

Partai dan Eksistensi Massa

 
“Kekuatan partai adalah massa.
Dan riilnya kekuatan massa adalah kader”

Di  Negara-negara demokrasi, partai merupakan komponen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Baik fungsinya sebagai pendukung pemerintah maupun oposisi, yang beberapa waktu terakhir mulai dikenal dan dipraktikkan  dalam khazanah demokrasi di Indonesia.


Indonesa sebagai negara demokrasi terbesar di dunia memiliki peran penting dalam percaturan politik global. Sebagai Negara muslim terbesar, indonesia diharapkan mampu hadir dalam beberapa isue politik dunia, sebagai penengah bahkan menjembatani berbagai dialog penting muslim dan barat. Dalam issue-isue lingkungan hidup dan global warming, pun juga menyangkut  Hak Asasi Manusia. Posisi ini menjadikan Indonesia memerlukan percepatan-percepatan pendewasaan peran politik, dan partai politik. Untuk mengimbangi komitmen kebangsaan dan tuntutan global Negara-negara dunia. Indonesia harus memiliki partai politik yang solid dan disegani.

Dalam konteks Aceh, kita baru saja mengikuti  sebuah pesta demokrasi pilkada yang dilakukan serentak di 18 kabupaten kota. Diikuiti juga oleh calon dari independen, Pesta demokrasi ini adalah yang terbesar di Indonesia.

Hampir semua partai yang mengusung atau mendukung calon kepala daerah melakukan konsolidasi pendukung baik pertemuan internal maupun terbuka. Deklarasi calon juga dilakukan dengan show of force yang beragam. Sudah menjadi kebiasaan umum setiap kali show of force dilakukan dengan menggunakan atribut, mobilisasi massa dan unjuk kekuatan yang terkadang berlebihan. Mulai dari aksi yang shoft sampai dengan aksi yang melanggar ketertiban. Bahkan mengancam keselamatan pemakai jalan raya.

Dalam catatan kita, pelanggaran-pelanggaran pilkada dilakukan oleh para pendukung/massa dari berbagai kelompok, baik ketertiban umum, lalu lintas, bahkan intimidasi serta  kecurangan saat pemilihan. Semua ini bisa menyulut konflik yang lebih besar dan luas antar pendukung calon.. Padahal beberapa waktu sebelumnya kita dipersaksikan oleh KIP Aceh sebuah deklarasi pilkada damai yang diikuti oleh semua calon kepala daerah bahkan pejabat pusat. Deklarasi memuat komitmen siap menang dan siap kalah, serta beberapa sikap penting untuk saling menghormati, dan menjaga peradamaian.

Jika deklarasi ini kita pandang sebagai komitmen moral dan bentuk riil sikap partai/ calon kepala daerah, lalu kenapa di lapangan pelanggaran itu masih terjadi?. Bukankah ini bentuk ketidak mampuan massa untuk menterjemahkan apa yang diinginkan  partai atau calon kepala daerah masing-masing. Atau justru ketidak mampuan partai mengelola massa dalam bentuknya yang paling sederhana: “kepatuhan untuk solid”. Tidak terbangunnya hubungan emosional antara massa dan partai menyebabkan massa dan partai berada pada pijakan yang berbeda.

Rumusan eksistensi

Hasan al Banna, menguraikan bahwa ada dua kunci eksisnya sebuah organisasi, dalam konteks ini adalah partai politik. Yang pertama , system dan yang kedua , kader.  system yang kuat dalam sebuah partai politik berupa AD/ART yang memungkinkan sebuah partai menjalankan roda organisasinya secara baik dari hulu hingga hilir. Muara kebijakan sampai pada tujuannya. Tanpa system, maka partai hanya berbasis modal dan idealisme. Dia tidak mencapai tujuannya.

Sedangkan kader, adalah mesin dan kekuatan besar sebagai penopang system. System yang baik dan bagus harus digerakkan oleh para pendukung yang loyal. Tanpa pendukung maka system ini hanya berupa lembaran konsep yang melayang-layang di langit dan  tidak menyapa bumi.

Oleh karena itu, kekuatan partai adalah massa. Dan riilnya kekuatan massa adalah kader. Eksistensi Kader mampu menjelaskan posisi partai dalam percaturan politik Indonesia. Partai yang eksis selalu memiliki pendukung/kader yang siap menjalankan konsep-konsep dan kebijakan partai secara baik dan bertanggung jawab, memiliki mobilitas yang tinggi dengan biaya konsolidasi yang sangat murah. Tidak khawatir dengan swing votter (massa mengambang/belum menentukan pilihan pada pemilu/pilkada), karena partai yang berbasis kader selalu memiliki pendukung loyalnya  sendiri.

Partai sebagai mitra pemerintah maupun sebagai oposisi, selalu memiliki peran sama pentingnya dengan pemerintah. Sebagai penyeimbang maka partai harus mempersiapkan kadernya untuk menjadi kawan dialog pemerintah. Sebagai oposisi partai harus mampu memberi solusi positif bagi pemerintah. Dua peran besar ini baru bisa dicapai dengan penggorganisasian yang baik  yang didalamnya memuat loyalitas kader yang diikat dengan AD/ART. Loyalitas sendiri baru terbangun melalui sebuah ikatan idiologi yang kuat. Partai tanpa idiologi yang mapan akan menjadi pasar bebas, termasuk bebas nilai. karenanya idiologi menjadi sesuatu yang  penting dalam sebuah partai politk. Inilah yang disebut sebagai partai kader.

Partai kader sangat memahami kebutuhan negara (dalam lingkup lebih kecil yaitu kabupaten/kota/propinsi).  Dalam penjabaran sebuah visi misi kepala daerah serta RPJP/RPJM , dari sana partai harus membaca kebutuhan daerah menyangkut potensi dan SDM di daerah.

Sebuah Ilustrasi,

Menurut data statistic, PDRB Aceh pada tahun 2010 yang lalu, penyumbang terbesar pembangunan bersumber dari sektor pertanian (termasuk didalamnya sub sector perikanan), sebesar 28,13 %. Sementara sumber daya manusia di sector ini, termasuk petani dan nelayan belum memiliki kemampuan teknologi dan akses informasi, mereka belum terberdayakan disebabkan berbagai factor. Sehingga potensi yang besar belum optimal secara kuantitas kualitas.  Irigasi belum terpadu, padi terancam gagal panen, beralihnya lahan produktif dan sebagainya masih menjadi masalah di propinsi ini.  maka partai-partai bisa berperan dengan memunculkan calon anggota legislatif yang berkompeten bidang ini.

Jika yang dikeluhkan adalah regulasi pemerintah pusat menyangkut perbankan khususnya untuk petani, maka anggota legislative perlu memaparkan fakta bahwa Aceh memiliki potensi pertanian yang besar dengan didukung curah hujan yang tinggi mencapai 81 juta mm3/tahun. Legislative perlu mendorong terbentuknya Bank Pertanian di Aceh.. Mereka bisa berdiskusi tentang  garis pantai dan luas zona ekonomi eksklusif (ZEE) Aceh yang begitu luas sehingga potensi perikanan bisa menjadi andalan sebelum atau pasca dana otsus Aceh berakhir. Begitu juga potensi ekspor hasil pertanian Aceh yang selama ini masih melalui kota Medan dan menambah volume ekspor impor propinsi sumatera utara. Disini setiap kebijakan strategis merupakan hasil share dua pihak, legislatif dan eksekutif  secara proporsional berbasis ilmu dan kapasitas.

Kemampuan mengatur dan menetapkan siapa diantara massa/kader yang akan menjadi anggota legislative akhirnya menjadi ciri partai modern. Akan sangat mudah jika system pemilihan pada pemilu menganut system proporsional tertutup dimana calon yang menang adalah yang diharapkan oleh partai politik dan dibutuhkan oleh daerah. Partai bisa mengatur calegnya dari berbagai disiplin ilmu dan profesi. Tidak didominasi oleh satu profesi saja.

Dengan begitu menjadi Tidak penting berapa jumlah partai di Indonesia jika komitmen kebangsaan untuk menghadirkan kesejahteraan mampu diwujudkan oleh partai-partai berbasis massa kader seperti ini. .


Wallahu alam bishawab.


Nourman hidayat,SH.
Ketua DPW PKS Aceh, bidang buruh petani nelayan.
Anggota komisi A DPRK Aceh Besar.
Pembina lembaga Aceh Perspective


Posted by PKS Kota Mataram on 07.35. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Partai dan Eksistensi Massa"

Leave a reply

Berikan komentar, saran dan kritik anda yang membangun.